Rabu, 03 Juni 2009

malang tempo doeloe

Ni pada pake batik. Jalan-jalan di Malang Tempo Doeloe. pertengahan Mei kemarin. Sepanjang jalan Ijen Malang--yg jadi landmark kota--disulap dengan suasana jadul. Ada banyak makanan tempo doeloe, kayak kedelai rebus, gulali, panekoek, jagung rebus n lain-lain. Lumayan asyik jeng

Rabu, 25 Maret 2009

“JAHIT SENDIRI BUNDA!”

Hari Minggu, 22 Maret 2009, saya benar-benar ‘ditohok’ oleh kejadian yang menakjubkan. Maya, 6,10 bulan, putri bungsu saya tiba-tiba bercerita kalau ia baru saja menjahit celana dalamnya yang sudah robek. Karena saya sedang asyik mengiris cumi-cumi, saya cuek saja. Kala tidur siang, saya merapikan selimutnya—Malang sedang diguyur hujan deras waktu itu, jadi saya pikir akan hangat kalau dia tidur berselimut—saya terpana melihat celana dalam yang dipakainya. Itu celana dalam yang seminggu lalu akan saya buang, karena sudah robek. Tampak jahitan tangan yang asal-asalan, tapi sangat luar biasa untuk anak yang belum genap tujuh tahun! Mampu menjahit dengan tangannya sendiri ‘properti’ dalam yang ia pakai. Langsung saja saya ‘nangis bombay’ alias mbrebes mili. Suami yang lagi keluar rumah saya sms dan takjub sembari berkomentar, anak-anak punya kemampuan yang sering tak kita duga.
Kebayang betapa saya beberapa kali memarahinya saat ia sibuk bereksperimen. Menjahit kancing-kancing di kepala bonekanya, menggunting-gunting kertas lalu dibentuk baju atau benda apa saja yang menurutnya bagus. Betapa begonya saya melarangnya ‘berbuat aneh-aneh’ demi kerapihan kamar dan rumah kami. Saya takut ia kena gunting, was-was kalau ia tertusuk jarum saat menjahit, ternyata ketakutan saya adalah cermin kebodohan saya sendiri. Jauh lebih baik mengingatkannya untuk berhati-hati menggunakan gunting dan waspada saat menjahit dengan jarum, daripada mengumbar larangan bin omelan panjang lebar. Learning by doing adalah yang terbaik, ya jeng! Kalaupun tergores gunting dan tertusuk jarum, itulah pelajaran agar ia lebih berhati-hati melakukan apapun. Sorry, my dear Maya, keep on learning everything with your own ways…Just, be careful anyway………….

“YOU ARE WHAT YOU READ”

Masih hari Minggu, 22 Maret 2009, saya tertohok untuk kedua kalinya! Kali ini giliran Anya, 8,5, putri sulung saya, yang melakukannya. Ia tipe kutu buku dan sangat hobi menggambar. Kertas satu rim, bisa habis dalam dua minggu dan hampir tiap hari saya harus membelikan buku gambar baru untuk coretan-coretannya.
Sepulang jalan-jalan pagi keliling kompleks perumahan, ia berkata ingin ke rumah om Jas yang punya anjing kecil bernama Moko. Karena masih terlalu pagi, saya tak mengijinkannya. Jadilah ia sewot seharian. Selepas siang, sebelum tidur siang, iseng saya tanya kenapa ia ngebet ingin bertemu Moko, little puppy itu,
“Bunda, aku akan kasih tahu om Jas kalau Moko bisa keracunan bahkan mati kalau makan coklat,” jawabnya. Saya tanya lagi, bagaimana Anya bisa tahu kalau Moko akan keracunan bahkan mati kalau makan coklat, dengan tangkas ia menjawab,
“Dari Boleh Tahu di majalah Bobo yang baru, bunda. Bunda belum baca ya?”
Walah-walah, saya geleng-geleng sambil menyesali diri saya sendiri yang sering memarahinya karena suka membaca dimanapun dan apapun yang ia lakukan. Sambil makan, ia baca, sambil berbaring, ia baca, sambil dandan mau berangkat sekolah, bahkan meminum susunya, ia lakukan sambil baca. Bukankah saat ini pengetahuan dan informasi adalah kekuatan? Mengapa saya harus sewot dan ngomel sepanjang kereta api gara-gara hobinya itu? Toh, tak sedikit anak-anak yang tak connect dan gak punya passion dengan buku atau bacaan apapun, hingga orang tuanya pusing. Mendengar anak kita mengetahui informasi yang tak pernah kita ketahui sebelumnya, tentu pengalaman yang luar biasa menyenangkan, so keep on reading, open your world, expand your horizon, grab your dreams by reading my children…

CALISTUNG UNTUK SIAPA?

Sebagai guru TK, saya kerap merasa bimbang. Di kurikulum TK tidak ada pelajaran membaca dan berhitung. Hanya mengenalkan huruf dan angka pada anak-anak. Tetapi begitu anak akan masuk SD—yang artinya anak lulus TK—dituntut harus lancar membaca dan berhitung. Karena tuntutan itulah, banyak guru TK yang merasa wajib membekali anak-anak didiknya lancar membaca dan berhitung sebelum lulus TK. Jika tidak, TK itu akan dicap tidak profesional dan ujung-ujungnya ‘tidak laku’.
Padahal konsep belajar di TK adalah bermain sembari belajar. Kak Seto suatu kali pernah mengatakan di KOMPAS kalau TK kita kebanyakan menekankan aspek kognitif semata, sedangkan aspek rekreatif dan afektif seolah bukan hal penting. Kak Seto benar, pendidikan anak pra sekolah seharusnya lebih menekankan pada pola perilaku dan kegiatan rekreatif mengingat usia dan kemampuan anak. Menyiapkan anak-anak TK untuk mampu beradaptasi dengan pendidikan Sekolah Dasar adalah masalah kompleks dan tidak semata bertumpu pada kemampuan kognitif (berpikir). Sekolah bukan sekedar ajang menjejali anak-anak dengan hafalan tetapi juga tempat yang nyaman untuk mengembangkan kecerdasan emosional, tempat yang mengesankan untuk bermain sekaligus belajar dan tempat yang tepat untuk menakar plus menimbang perilaku baik dan buruk.
Jadi Calistung lebih baik diajarkan di SD kelas 1 saja. Konsep bacaan dan konsep bilangan lebih tepat diajarkan pada anak selepas mereka lulus TK, ketika penalaran dan kecerdasan emosional mereka sudah berkembang lebih baik.

Senin, 26 Januari 2009

Snack Murrah Merriahh

Ada banyak sekali sekolah dasar di negeri ini yang tidak mempunyai kantin sekolah. Sehingga anak-anak sekolah tak punya pilihan lain selain jajan di halaman sekolah. Umumnya sekolah tersebut berada di pinggiran kota dan siswa datang dari golongan masyarakat yang kurang mampu dan memiliki akses rendah terhadap kesehatan dan keamanan suatu makanan/jajanan.
Daya beli masyarakat yang rendah ‘memaksa’ keluarga-keluarga tersebut memberikan sedikit uang saku pada anak-anak mereka. Minimnya uang saku membuat anak-anak tersebut tak punya banyak pilihan kecuali membeli jajanan yang murah. Konsekuensinya, penjaja/penjual makanan membuat dagangannya semurah dan semenarik mungkin agar laku. Tak jarang menggunakan pewarna yang membahayakan kesehatan, belum lagi penggunaan pemanis buatan yang dilarang untuk mengganti pemakaian gula. Juga pemakainan bahan-bahan pengawet yang mengancam kesehatan anak-anak tersebut di kemudian hari.
Siapa yang peduli pada keamanan jajanan tersebut?siapa yang seharusnya bertanggung jawab membina para pedagang makanan agar paham pentingnya menjaga kesehatan pangan yang mereka jual?bagaimana memberi pengertian kepada orang tua dari anak-anak tersebut agar lebih hati-hati memilih jajanan untuk anak-anak mereka? Melarang penjual tak berjualan di areal sekolah juga bukan solusi tepat. Siapapun mereka, apapun latar belakang ekonomi keluarganya, anak-anak berhak mendapatkan yang terbaik, termasuk juga jajanan yang mereka konsumsi sehari-hari.

Anak, Subyek atau Obyek?

Romi, bukan nama sebenarnya, luar biasa kecewa ketika gagal tak lolos tes masuk sekolah kedinasan. Padahal ia sudah ‘ngungsi’ ke provinsi lain atas kemauan ibunya, demi memperbesar peluang lolos. Harapannya agar Romi bisa diterima di sekolah kedinasan tersebut dan setelah lulus bisa langsung jadi pegawai negeri tanpa repot mencari kerja.
Kemudian Romi ikut tes UMPTN dan diterima di jurusan yang ia inginkan, kemudian, sekali lagi atas kemauan ibunya Romi diminta tidak memasuki jurusan yang dianggap sang ibu akan sulit bahkan gelap dalam bursa kerja. Jadilah Romi sekarang kuliah di jurusan yang tidak disukainya, Akademi Perawat, lagi-lagi atas kemauan ibunya agar selepas lulus, Romi bisa ikut tes CPNS dan diterima sebagai pegawai negeri. Romi pun menurut, tapi kelak jika ia tidak lulus tes CPNS dan gagal jadi pegawai negeri, akankah sang ibu ‘memilihkan’ profesi dan jalan hidup yang akan digeluti Romi. Jadi anak itu subyek atau obyek sih sebenarnya, jeng?

Sekolah Favorit? Sekolah Mahal?

Pendidikan di Indonesia saat ini benar-benar menjadi industri. Betapa tidak?dengan iming-iming fasilitas yang wah, sekolah-sekolah berlomba mencari siswa. Bilingual, Trilingual, fasilitas olahraga sekelas olimpiade, kurikulum internasional, tenaga pengajar ekspatriat dan lainnya. Ujung-ujungnya, semakin mahal semakin favoritlah sekolah tersebut di mata masyarakat.
Ada seorang wali murid yang hendak memasukkan anaknya ke sekolah favorit, padahal sang anak sudah diterima di SD swasta yang cukup bagus di kotanya. Dengan alasan sekolah tersebut dianggap paling bergengsi di kota tersebut. Entah karena grogi atau merasa terbebani, sang anak dinyatakan tidak lulus tes di sekolah favorit tersebut. Sang anak mungkin merasa mengecewakan ibunya, bertanya pada ibunya,”Bu, apa aku bodoh hingga aku tidak diterima di sekolah itu?”. Tak ada anak bodoh. Yang ada hanyalah orang tua yang tak paham sang anak dan guru yang tak memahami anak didiknya.
Jeng, selama sang anak enjoy di sekolah dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik, mengapa ribut dengan status sekolah favorit atau bukan favorit? mutiara, di dalam lumpur sekalipun akan tetap disebut sebagai mutiara.