Rabu, 25 Maret 2009

“JAHIT SENDIRI BUNDA!”

Hari Minggu, 22 Maret 2009, saya benar-benar ‘ditohok’ oleh kejadian yang menakjubkan. Maya, 6,10 bulan, putri bungsu saya tiba-tiba bercerita kalau ia baru saja menjahit celana dalamnya yang sudah robek. Karena saya sedang asyik mengiris cumi-cumi, saya cuek saja. Kala tidur siang, saya merapikan selimutnya—Malang sedang diguyur hujan deras waktu itu, jadi saya pikir akan hangat kalau dia tidur berselimut—saya terpana melihat celana dalam yang dipakainya. Itu celana dalam yang seminggu lalu akan saya buang, karena sudah robek. Tampak jahitan tangan yang asal-asalan, tapi sangat luar biasa untuk anak yang belum genap tujuh tahun! Mampu menjahit dengan tangannya sendiri ‘properti’ dalam yang ia pakai. Langsung saja saya ‘nangis bombay’ alias mbrebes mili. Suami yang lagi keluar rumah saya sms dan takjub sembari berkomentar, anak-anak punya kemampuan yang sering tak kita duga.
Kebayang betapa saya beberapa kali memarahinya saat ia sibuk bereksperimen. Menjahit kancing-kancing di kepala bonekanya, menggunting-gunting kertas lalu dibentuk baju atau benda apa saja yang menurutnya bagus. Betapa begonya saya melarangnya ‘berbuat aneh-aneh’ demi kerapihan kamar dan rumah kami. Saya takut ia kena gunting, was-was kalau ia tertusuk jarum saat menjahit, ternyata ketakutan saya adalah cermin kebodohan saya sendiri. Jauh lebih baik mengingatkannya untuk berhati-hati menggunakan gunting dan waspada saat menjahit dengan jarum, daripada mengumbar larangan bin omelan panjang lebar. Learning by doing adalah yang terbaik, ya jeng! Kalaupun tergores gunting dan tertusuk jarum, itulah pelajaran agar ia lebih berhati-hati melakukan apapun. Sorry, my dear Maya, keep on learning everything with your own ways…Just, be careful anyway………….

“YOU ARE WHAT YOU READ”

Masih hari Minggu, 22 Maret 2009, saya tertohok untuk kedua kalinya! Kali ini giliran Anya, 8,5, putri sulung saya, yang melakukannya. Ia tipe kutu buku dan sangat hobi menggambar. Kertas satu rim, bisa habis dalam dua minggu dan hampir tiap hari saya harus membelikan buku gambar baru untuk coretan-coretannya.
Sepulang jalan-jalan pagi keliling kompleks perumahan, ia berkata ingin ke rumah om Jas yang punya anjing kecil bernama Moko. Karena masih terlalu pagi, saya tak mengijinkannya. Jadilah ia sewot seharian. Selepas siang, sebelum tidur siang, iseng saya tanya kenapa ia ngebet ingin bertemu Moko, little puppy itu,
“Bunda, aku akan kasih tahu om Jas kalau Moko bisa keracunan bahkan mati kalau makan coklat,” jawabnya. Saya tanya lagi, bagaimana Anya bisa tahu kalau Moko akan keracunan bahkan mati kalau makan coklat, dengan tangkas ia menjawab,
“Dari Boleh Tahu di majalah Bobo yang baru, bunda. Bunda belum baca ya?”
Walah-walah, saya geleng-geleng sambil menyesali diri saya sendiri yang sering memarahinya karena suka membaca dimanapun dan apapun yang ia lakukan. Sambil makan, ia baca, sambil berbaring, ia baca, sambil dandan mau berangkat sekolah, bahkan meminum susunya, ia lakukan sambil baca. Bukankah saat ini pengetahuan dan informasi adalah kekuatan? Mengapa saya harus sewot dan ngomel sepanjang kereta api gara-gara hobinya itu? Toh, tak sedikit anak-anak yang tak connect dan gak punya passion dengan buku atau bacaan apapun, hingga orang tuanya pusing. Mendengar anak kita mengetahui informasi yang tak pernah kita ketahui sebelumnya, tentu pengalaman yang luar biasa menyenangkan, so keep on reading, open your world, expand your horizon, grab your dreams by reading my children…

CALISTUNG UNTUK SIAPA?

Sebagai guru TK, saya kerap merasa bimbang. Di kurikulum TK tidak ada pelajaran membaca dan berhitung. Hanya mengenalkan huruf dan angka pada anak-anak. Tetapi begitu anak akan masuk SD—yang artinya anak lulus TK—dituntut harus lancar membaca dan berhitung. Karena tuntutan itulah, banyak guru TK yang merasa wajib membekali anak-anak didiknya lancar membaca dan berhitung sebelum lulus TK. Jika tidak, TK itu akan dicap tidak profesional dan ujung-ujungnya ‘tidak laku’.
Padahal konsep belajar di TK adalah bermain sembari belajar. Kak Seto suatu kali pernah mengatakan di KOMPAS kalau TK kita kebanyakan menekankan aspek kognitif semata, sedangkan aspek rekreatif dan afektif seolah bukan hal penting. Kak Seto benar, pendidikan anak pra sekolah seharusnya lebih menekankan pada pola perilaku dan kegiatan rekreatif mengingat usia dan kemampuan anak. Menyiapkan anak-anak TK untuk mampu beradaptasi dengan pendidikan Sekolah Dasar adalah masalah kompleks dan tidak semata bertumpu pada kemampuan kognitif (berpikir). Sekolah bukan sekedar ajang menjejali anak-anak dengan hafalan tetapi juga tempat yang nyaman untuk mengembangkan kecerdasan emosional, tempat yang mengesankan untuk bermain sekaligus belajar dan tempat yang tepat untuk menakar plus menimbang perilaku baik dan buruk.
Jadi Calistung lebih baik diajarkan di SD kelas 1 saja. Konsep bacaan dan konsep bilangan lebih tepat diajarkan pada anak selepas mereka lulus TK, ketika penalaran dan kecerdasan emosional mereka sudah berkembang lebih baik.