Senin, 26 Januari 2009

Snack Murrah Merriahh

Ada banyak sekali sekolah dasar di negeri ini yang tidak mempunyai kantin sekolah. Sehingga anak-anak sekolah tak punya pilihan lain selain jajan di halaman sekolah. Umumnya sekolah tersebut berada di pinggiran kota dan siswa datang dari golongan masyarakat yang kurang mampu dan memiliki akses rendah terhadap kesehatan dan keamanan suatu makanan/jajanan.
Daya beli masyarakat yang rendah ‘memaksa’ keluarga-keluarga tersebut memberikan sedikit uang saku pada anak-anak mereka. Minimnya uang saku membuat anak-anak tersebut tak punya banyak pilihan kecuali membeli jajanan yang murah. Konsekuensinya, penjaja/penjual makanan membuat dagangannya semurah dan semenarik mungkin agar laku. Tak jarang menggunakan pewarna yang membahayakan kesehatan, belum lagi penggunaan pemanis buatan yang dilarang untuk mengganti pemakaian gula. Juga pemakainan bahan-bahan pengawet yang mengancam kesehatan anak-anak tersebut di kemudian hari.
Siapa yang peduli pada keamanan jajanan tersebut?siapa yang seharusnya bertanggung jawab membina para pedagang makanan agar paham pentingnya menjaga kesehatan pangan yang mereka jual?bagaimana memberi pengertian kepada orang tua dari anak-anak tersebut agar lebih hati-hati memilih jajanan untuk anak-anak mereka? Melarang penjual tak berjualan di areal sekolah juga bukan solusi tepat. Siapapun mereka, apapun latar belakang ekonomi keluarganya, anak-anak berhak mendapatkan yang terbaik, termasuk juga jajanan yang mereka konsumsi sehari-hari.

Anak, Subyek atau Obyek?

Romi, bukan nama sebenarnya, luar biasa kecewa ketika gagal tak lolos tes masuk sekolah kedinasan. Padahal ia sudah ‘ngungsi’ ke provinsi lain atas kemauan ibunya, demi memperbesar peluang lolos. Harapannya agar Romi bisa diterima di sekolah kedinasan tersebut dan setelah lulus bisa langsung jadi pegawai negeri tanpa repot mencari kerja.
Kemudian Romi ikut tes UMPTN dan diterima di jurusan yang ia inginkan, kemudian, sekali lagi atas kemauan ibunya Romi diminta tidak memasuki jurusan yang dianggap sang ibu akan sulit bahkan gelap dalam bursa kerja. Jadilah Romi sekarang kuliah di jurusan yang tidak disukainya, Akademi Perawat, lagi-lagi atas kemauan ibunya agar selepas lulus, Romi bisa ikut tes CPNS dan diterima sebagai pegawai negeri. Romi pun menurut, tapi kelak jika ia tidak lulus tes CPNS dan gagal jadi pegawai negeri, akankah sang ibu ‘memilihkan’ profesi dan jalan hidup yang akan digeluti Romi. Jadi anak itu subyek atau obyek sih sebenarnya, jeng?

Sekolah Favorit? Sekolah Mahal?

Pendidikan di Indonesia saat ini benar-benar menjadi industri. Betapa tidak?dengan iming-iming fasilitas yang wah, sekolah-sekolah berlomba mencari siswa. Bilingual, Trilingual, fasilitas olahraga sekelas olimpiade, kurikulum internasional, tenaga pengajar ekspatriat dan lainnya. Ujung-ujungnya, semakin mahal semakin favoritlah sekolah tersebut di mata masyarakat.
Ada seorang wali murid yang hendak memasukkan anaknya ke sekolah favorit, padahal sang anak sudah diterima di SD swasta yang cukup bagus di kotanya. Dengan alasan sekolah tersebut dianggap paling bergengsi di kota tersebut. Entah karena grogi atau merasa terbebani, sang anak dinyatakan tidak lulus tes di sekolah favorit tersebut. Sang anak mungkin merasa mengecewakan ibunya, bertanya pada ibunya,”Bu, apa aku bodoh hingga aku tidak diterima di sekolah itu?”. Tak ada anak bodoh. Yang ada hanyalah orang tua yang tak paham sang anak dan guru yang tak memahami anak didiknya.
Jeng, selama sang anak enjoy di sekolah dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik, mengapa ribut dengan status sekolah favorit atau bukan favorit? mutiara, di dalam lumpur sekalipun akan tetap disebut sebagai mutiara.