Kamis, 22 Januari 2009

Dari Serabi Hingga Spaghetti

From Serabi to Spaghetti
Bukan main ragam jajanan jaman sekarang. Mau cari jajanan dengan citarasa seantero dunia dengan mudah kita temukan di setiap sudut kota besar di negeri ini. Roti Pita, kari India, roti maryam, hamburger, hotdog, pizza, Tomyamgong, Tiramisu, spaghetti dan sederet jajanan manca lainnya. It’s global life, friend!
Tak ada yang salah kita mencicipi semua jajanan manca itu sembari mengenalkan negara-negara asal jajanan tersebut kepada anak-anak kita. Hitung-hitung belajar geografi. Tapi jangan lupa juga memperkenalkan jajanan tradisonal Indonesia ke anak-anak. Jajanan Indonesia itu luar biasa banyaknya. Satu daerah saja bisa ratusan macamnya. Nah sesekali ajak mereka makan makanan tradisonal. Karena ternyata banyak filosofi dan cerita menarik di balik jajanan tradisonal. Seperti nasi tumpeng yang selalu berbentuk kerucut, melambangkan agar manusia ingat kepada Tuhannya dan selalu menjaga kerukunan dengan sesama—nasi tumpeng biasanya dibuat dengan campuran beras ketan agar lengket menempel satu dengan yang lain. Itu pelajaran yang tidak didapatkan di bangku sekolah. Kenalkan spaghetti, akrabkan juga dengan serabi. Kalau bukan kita yang mengenalkan makanan tradisonal ke anak-anak, siapa lagi? Kekayaan kuliner kan juga warisan leluhur yang membentuk identitas kita sebagai suatu bangsa. Kalau warisan dan identitas itu lenyap, apalagi yang membedakan kita dengan bangsa lain jeng? Bukankah keragaman itu berkah?
It’s easy now to find international foods and snacks around cities of Indonesia. Just like Pita and Maryam bread, Indian curry, hamburger, hotdog, spaghetti to Tiramisu. It’s quite normal since we live in the global era. Our children could learn geography through the international foods. But, one thing should remember is don’t forget to introduce Indonesian traditional foods and snacks, since it’s our glorious heritage from the ancestor. Indonesia has many kinds of traditional foods. It’s not about food only, but many philosophies and interesting stories behind the food. For example Nasi Tumpeng—ceremonial dish of white/yellow rice served in a cone shape. It symbolizes always remember to God and keeping in harmony and respect to each other. The culinary riches are ancestor’s heritage that shape our identity as a nation. When the heritage and the identity has gone, what make we different from other nations? Diversity is blessing, isn’t it?

Belajar dari Tukang Cendol

Learning from Cendol Seller
Ketika mengantar putri-putri kami liburan ke rumah Eyangnya di Pacitan, kami memungut pelajaran berharga dari seorang bakul cendol. Mbah Karso Bajang, penjaja cendol itu sudah berjualan cendol sejak akhir tahun 50 an. Dengan citarasa yang selalu ia jaga, menggunakan gula jawa untuk pemanis. Untuk membuat adonan cendolnya, ia memasaknya dengan kayu bakar. Mau tahu berapa harga segelasnya?—kira-kira 250cc—Rp.1000,00 saja. Dengan berjualan cendol ia mampu menyekolahkan kelima anaknya menjadi pegawai—maksudnya orang yang bekerja di kantor, baik PNS maupun bukan. Umurnya sudah 83 tahun. Ia tampak sehat karena mampu mendorong gerobak cendolnya keliling desa. Meski kelima anaknya ngotot melarangnya berjualan cendol lagi, ia tak juga surut. Ketika saya tanya apa rahasia sehatnya, ia enteng menjawab bekerja.
Kawan, pastilah yang dimaksud bukan sekedar bekerja. Mbah Karso meyakini bekerja adalah ibadah. Dengan bekerja, ia bersyukur Tuhan sudah memberinya kesehatan yang luar biasa nikmat, hingga di usianya yang 83 tahun ia masih sehat dan jarang sakit. Dengan bekerja pula, otaknya senantiasa berlatih, terus berpikir dan tetap terawat. Nah, nikmatilah, apapun pekerjaan kita, berapapun penghasilan kita. Apalagi jika kita masih sehat hingga hari ini, syukurilah.
An 83 years man, named Karso Bajang still worked. He sold cendol—Indonesian traditional drink, made from tapioca flour/rice flour’s dough and boiled coconut milk with aren sugar. He succeeded to raise his five children to be office staffs by selling cendol. He said that he’s healthy by working. Pushing his handcart went around his village to sell cendol, everyday. By working he’s grateful to God’s blessing for keeping him healthy. What a worthy learning!

Be Sportif

Lepas dari apapun pandangan politiknya, Pilpres AS sudah memberi contoh bagaimana seharusnya kita bersikap menerima kekalahan dan mengamini kemenangan. Pada konvensi partai Demokrat, Hillary R Clinton harus mengakui keunggulan Barrack Obama. Mantan first lady itu mengucapkan selamat dengan sportif dan mengajak pendukungnya untuk mendukung Obama. Demikian juga dengan John Mc Cain yang mengakui kemenangan Obama dan mengajak pendukungnya untuk bekerja bersama Obama. Pun saat pelantikan Obama menjadi presiden AS ke 44, mantan presiden yang masih hidup hadir, seperti Jimny Carter, George Bush Senior, Bill Clinton dan George Bush yunior untuk menyaksikan pelantikan dan memberikan selamat pada Obama.
Di Indonesia, masih langka kita menyaksikan kejadian seperti ini. Mantan-mantan presiden Indonesia terkadang masih tidak ‘kompak’, seperti tidak menghadiri upacara kenegaraan 17 Agustus di istana Negara, dengan berbagai dalih. Sikap sportif mengakui keunggulan orang lain dan menyadari kekalahan tampaknya baru sebatas wacana di negeri ini. Come on friend, be sportif. Ayo anak-anak kasih contoh kami-kami orang dewasa untuk berlaku sportif, berani mengakui kesalahan dan mengakui keunggulan orang lain. Long live sportivity

Kalah? Mengapa Takut?


Don’t Be Afraid of Loosing
Putri kedua saya, Maya, rada temperamental anaknya. Ketika melihat kakaknya menang—dan dia tidak mendapatkan piala-- dalam lomba menggambar yang sama-sama mereka ikuti, ia jadi marah. Di rumah, ia tetap ‘menggugat’ keputusan juri yang ‘mengalahkannya’. Saya dan suami pusing dibuatnya.
Setelah berunding, kami sepakat membawanya ke GOR Ken Arok, Malang untuk menyaksikan pertandingan voli antar provinsi, kebetulan salah satu sepupu suami sedang bertanding. Kami ingin menunjukkan kepada Maya bahwa dalam pertandingan akan selalu ada yang kalah dan menang. Ketika pertandingan usai, saya mengatakan padanya,”Lihat Maya, apa ada yang marah karena kalah?” ia tidak menjawab, hanya menggeleng sambil tersenyum simpul. Ia juga melihat, tim yang kalah menyalami tim yang menang. Kadang anak memang butuh contoh dan bukan sekadar nasehat untuk menyadari kekeliruannya. Belajar dari kekalahan dan kesalahan, bukanlah hal yang buruk. Learning from mistake is more important than just doing right .

Billy No, Billy Yes

Saya punya siswa yang funky dan keren di kelas TK A. Namanya Brillian, panggilannya Billy. Sejak usia 2 tahun ia ikut ayah dan ibunya study ke Australia. Ketika pulang ke Indonesia, ia jadi asing dengan bahasa Indonesia. Jadilah kami berkomunikasi dalam bahasa campuran. Kadang bahasa Inggris, lain waktu bahasa Indonesia. Dua bulan bersekolah ia sudah mulai lancar berbahasa Indonesia.
Hanya saja, ia tidak dapat duduk tenang lebih dari 10 menit kecuali sedang melipat, menggambar, mewarnai atau menebali huruf. Ia lebih suka menyentuh semua benda yang ada di kelas dan memainkannya. Masalahnya, teman-teman sekelasnya akan melakukan hal yang sama dengan Billy, sepanjang jam belajar berlangsung. Kebayang kan kalau kami akan memberikan sebuah cerita, kami harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menenangkan mereka dan menyuruh mereka berhenti sejenak. beberapa dari kami mulai berseru pada Billy, dengan: Billy no, don’t touch this, don’t touch that. Akhirnya teman-teman sekelasnya mulai memanggil Billy dengan Billy No. Panggilan itu malah membuatnya semakin ‘pede’ berlarian di kelas dan tak bisa tenang. Akhirnya kami mengganti panggilan Billy dengan Billy Yes. “Billy yes, you can play with the toys after drawing /after eating snacks/ after praying,” seru kami. Hasilnya, ia lebih tenang dan mampu mengikuti pelajaran dengan baik. So, masukkan program positif pada anak dan nikmati hasilnya!
When we deliver the positive programs to children, the children would have positive output. On the contrary, if we deliver the negative programs, they would have negative output. So remember, always deliver the positive programs to your children…

Rabu, 21 Januari 2009

Beri Pujian, Buang Cacian

Give Praise, Throw Scornful Away
Rama adalah murid saya yang istimewa. Di bulan-bulan pertama menjadi murid TK B, ia suka sekali mengumpat. Kena senggol temannya, ia mengumpat. Tidak bisa mengerjakan tugasnya dengan baik, ia mengumpat. Pun ketika berselisih dengan teman sekelasnya, tak segan ia keluarkan umpatannya. Saya dan teman-teman pengajar sempat kehabisan kesabaran karena kebiasaan jeleknya ini. Kami sibuk memikirkan cara bagaimana ia tak lagi suka mengumpat atau paling tidak mengurangi frekuensi umpatannya. Karena ada beberapa anak, teman sekelasnya mulai terjangkit virus suka mengumpat.
Kemudian, setiap selesai melakukan tugasnya, kami memujinya. Selesai melakukan sesuatu yang baik, misalnya ia berbagi kue dengan temannya atau bermain bersama tanpa bertengkar, atau juga melakukan perintah kami dengan benar, kami berlomba-lomba memujinya. Membangkitkan kepercayaan dirinya bahwa ia adalah murid pintar dan bisa mengatakan hal-hal yang lebih baik dari sekedar umpatan. Upaya kami berhasil. Ia kini tak lagi mengumpat. Konsentrasi di kelas lebih baik, bahkan pada TKN semester I kemarin, ia menyelesaikan tugasnya paling cepat diantara teman-teman sekelasnya, juga dengan hasil yang baik. Sesuatu yang tak pernah dilakukan Rama sebelumnya. Kesimpulan kami, tak ada anak yang nakal. Tak ada anak yang tak bisa diajar. Yang ada, pendidik/pengajar harus menyesuaikan gaya pengajarannya dengan karakter masing-masing anak. Semua anak adalah pembelajar yang pintar, tidak ada anak yang bodoh. Begitu jeng, pak, bu, mbak, mas? Lain kali kita bahas betapa mengagumkannya perkembangan otak seorang anak, dari lahir hingga balita. Hingga kita akan sepakat, tiap anak adalah unik, hebat dan mengagumkan.
Give more praises to the ‘naughty’ children in order to build their confidence. They only ‘lost’, not know what to do. So, never judge on them. Keep giving praise to anything they had done good and throwing scornful away from your mind. Your words could be your prayers, so be careful with your words.

Kartun-Kartun Anya







Anya’s cartoons
Ini adalah sebagian gambar-gambar Anya (Thanks Anya for permitting your drawing posting to bunda’s blog). Ia suka sekali menggambar orang dengan beragam ekspresi wajah dan bermacam aktivitas. Saya tidak tahu kelak ia akan berprofesi sebagai apa, tapi saya yakin bakat menggambar dan ketekunannya menggambar akan membuatnya mampu menghasilkan hal yang baik dan positif, apapun bidang studi dan profesi yang akan digelutinya kelak. Jika anak Anda mempunyai bakat dan kesukaan dalam bidang seni, ketrampilan atau apa saja, dukunglah. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang anak, kecuali boleh melakukan hal yang paling ia minati dan sukai. Jika itu berhasil, jangan pelit untuk berbagi cerita dengan saya ya jeng, pak, mas, mbak, di blog ini.
Here are Anya’s cartoons. She likes drawing people in any expressions and activities. I have no idea what profession she would take later, but I believe her talent and passion in drawing would lead her to do positive and good things. If your children have any kind of talents, please support them. And if it works, don’t be shy to share the story with me, in this blog.

Aku Menggambar Maka Aku Belajar, Aku Belajar Maka Aku Menggambar


I draw means I learn, I learn means I draw
Putri sulung saya, Anya, 8 tahun kelas 2 SD suka sekali menggambar. Obyek yang biasa ia gambar adalah orang dengan beragam aktivitas dan ekspresi. Ia suka menggambar komik. Dimana dan kapan saja ia akan menggambar. Saya sempat jengkel dengannya karena menurut saya ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menggambar dan membaca. Suatu kali, saya memarahinya karena lebih asyik menggambar daripada belajar—membaca buku teks dan buku kerja; menghapal materi pelajaran. Saya sembunyikan semua peralatan gambarnya, mulai dari kertas, pensil, hingga crayon. Dengan harapan agar ia lebih konsentrasi belajar. Apa yang terjadi? Nilai-nilai pelajarannya malah terjun bebas alias turun dan lebih banyak melamun di kelas.
Saya sadar kemudian, bahwa Anya belajar dengan cara menggambar atau paling tidak, ia akan berkonsentrasi dengan baik jika sebelum belajar ia diberi kesempatan menggambar, tiga atau empat lembar kertas. Itulah yang saya lakukan sekarang. Perasaan riang, senang, gembira, nyaman sebelum memulai aktivitas belajar jauh lebih penting daripada perintah belajar. Dengan kondisi yang nyaman, anak jauh lebih siap melahap materi yang dipelajarinya.
Saya anggap menggambar adalah ritual Anya sebelum memulai aktivitas belajar. Selesai menggambar, saya mengingatkannya untuk kembali menyiapkan materi pelajaran untuk keesokan harinya. Dengan berseri-seri, ia kembali duduk dan melahap semua materi untuk pelajaran esok. Nah, saya jadi tenang, Anya pun puas. Jadi, apapun ritual yang akan dilakukan anak sebelum belajar—selama itu positif—ikuti saja. Ini akan mengajarinya bertanggung jawab dan paham bagaimana melakukan segala sesuatu dengan baik dan benar. Let your children do their own (supporting, positive) ritual before learning. It would make them have more responsibility to do anything better and right.

Bunda dan anak


Children and Mom
Apa yang bisa mengalahkan kedekatan hubungan ibu dan anak? Dalam kandungan sembilan bulan sepuluh hari, berbagi cerita, asa, harapan, keinginan, kebahagiaan dan duka adalah keajaiban yang saya alami selama mengandung. Merasakan ada kehidupan di rahim merupakan pengalaman yang tak ingin saya tukar dengan apapun. Nikmatilah bu, pengalaman sebagai ibu, bunda, mbok, mama, mami, umi. Rayakanlah setiap momen kebersamaan kita dengan anak-anak. Rayakanlah kehangatan kita sebagai keluarga, dengan suami, istri dan anak-anak kita. Mom, I am home... Dad, I am coming...

Cita-cita Kok Dipaksa

Never Interventing Your Children's Idea
Menyedihkan. Masih ada ibu yang memaksa anaknya untuk masuk ke sekolah kedinasan agar nanti bisa langsung jadi PNS. Padahal sang anak mau masuk jurusan psikologi, sang ibu malah bilang: No way, jurusan itu susah cari kerjaan nanti. Wooow, ibu ini benar-benar menutup mata pada keinginan sang anak. Akhirnya sang anak gagal masuk sekolah kedinasan yang dimaksud dan akhirnya dipaksa masuk sekolah perawat, biar begitu lulus nanti langsung bisa ikut tes CPNS. Wooow lagi! oh dear mom, please listen to your son's words first. Dengarkan keinginan anak dulu. Jadi PNS tidak menjamin masa depan. dan PNS bukan satu-satunya pekerjaan yang bisa dikejar. Di jaman global ini, ada tiga hal yang mesti dikembangkan, TIK, bahasa Inggris dan entrepreneurship. Jadilah ibu aktif bukan posesif. Anak-anak berhak menentukan masa depannya sendiri, mau jadi apa kelak, selama positif dan tidak merugikan orang lain. Bisa memberi pekerjaan orang lain jauh lebih berharga, apalagi jaman sekarang jenis-jenis pekerjaan kreatif amat banyak yang bisa digeluti. Stop pakai kacamata kuda bu, masih banyak karir di luar sana yang bisa jadi pilihan menjanjikan bagi anak-anak kita.
Cita-cita adalah wilayah dan otoritas anak, biarkan mereka mengejar, meraih, mewujudkan dan menggelutinya, kita hanya perlu siapkan bekal, ya ilmu, ya agama, akhlak yang baik, agar mereka nyaman dan bertanggung jawab atas pilihan cita-citanya. Gitu lhoo...
Children's idea is their own territoty and authority. Let them grab and realize it. we only prepared the good things to support them.

Selasa, 20 Januari 2009

anakmu bukan anakmu


Your Children Are Not Your Children
Anakmu adalah bukan anakmu, kata Kahlil Gibran. Anak-anak kita adalah milik masa depan. Mereka bisa lahir dari rahim kita, dari benih kita, dari kisah cinta kita ataupun dari rahim orang lain. Tapi mereka bukan milik kita sepenuhnya. Mereka memiliki keunikan, sifat, karakter, ciri yang bisa jadi sama atau bahkan identik dengan orang tuanya, namun mereka tetap manusia merdeka. Bebas menentukan masa depan, keinginan, tujuan dan arah hidupnya. Orang tua bisa mengarahkan tapi akan 'mendarat' kemana mereka kelak, bukan urusan kita lagi. Kita hanya dapat membekali mereka dengan kemampuan beradaptasi dimanapun mereka 'mendarat' nantinya.
Jauhi paksaan, cemoohan, atau apa saja yang bisa membuat mereka kehilangan semangat untuk berkembang sebagai individu merdeka. Sebaliknya, dukung, beri pujian dan segala hal positif yang mampu menggairahkan mereka terus berjalan untuk mendapatkan yang mereka inginkan. They are our children, but soon, they belong to their own future. Let it go, let it flow, just remind them: we are--as the parents--their biggest supporters. Long live our children...come and go for your own future...