Kamis, 22 Januari 2009

Belajar dari Tukang Cendol

Learning from Cendol Seller
Ketika mengantar putri-putri kami liburan ke rumah Eyangnya di Pacitan, kami memungut pelajaran berharga dari seorang bakul cendol. Mbah Karso Bajang, penjaja cendol itu sudah berjualan cendol sejak akhir tahun 50 an. Dengan citarasa yang selalu ia jaga, menggunakan gula jawa untuk pemanis. Untuk membuat adonan cendolnya, ia memasaknya dengan kayu bakar. Mau tahu berapa harga segelasnya?—kira-kira 250cc—Rp.1000,00 saja. Dengan berjualan cendol ia mampu menyekolahkan kelima anaknya menjadi pegawai—maksudnya orang yang bekerja di kantor, baik PNS maupun bukan. Umurnya sudah 83 tahun. Ia tampak sehat karena mampu mendorong gerobak cendolnya keliling desa. Meski kelima anaknya ngotot melarangnya berjualan cendol lagi, ia tak juga surut. Ketika saya tanya apa rahasia sehatnya, ia enteng menjawab bekerja.
Kawan, pastilah yang dimaksud bukan sekedar bekerja. Mbah Karso meyakini bekerja adalah ibadah. Dengan bekerja, ia bersyukur Tuhan sudah memberinya kesehatan yang luar biasa nikmat, hingga di usianya yang 83 tahun ia masih sehat dan jarang sakit. Dengan bekerja pula, otaknya senantiasa berlatih, terus berpikir dan tetap terawat. Nah, nikmatilah, apapun pekerjaan kita, berapapun penghasilan kita. Apalagi jika kita masih sehat hingga hari ini, syukurilah.
An 83 years man, named Karso Bajang still worked. He sold cendol—Indonesian traditional drink, made from tapioca flour/rice flour’s dough and boiled coconut milk with aren sugar. He succeeded to raise his five children to be office staffs by selling cendol. He said that he’s healthy by working. Pushing his handcart went around his village to sell cendol, everyday. By working he’s grateful to God’s blessing for keeping him healthy. What a worthy learning!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar