Rabu, 21 Januari 2009

Aku Menggambar Maka Aku Belajar, Aku Belajar Maka Aku Menggambar


I draw means I learn, I learn means I draw
Putri sulung saya, Anya, 8 tahun kelas 2 SD suka sekali menggambar. Obyek yang biasa ia gambar adalah orang dengan beragam aktivitas dan ekspresi. Ia suka menggambar komik. Dimana dan kapan saja ia akan menggambar. Saya sempat jengkel dengannya karena menurut saya ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menggambar dan membaca. Suatu kali, saya memarahinya karena lebih asyik menggambar daripada belajar—membaca buku teks dan buku kerja; menghapal materi pelajaran. Saya sembunyikan semua peralatan gambarnya, mulai dari kertas, pensil, hingga crayon. Dengan harapan agar ia lebih konsentrasi belajar. Apa yang terjadi? Nilai-nilai pelajarannya malah terjun bebas alias turun dan lebih banyak melamun di kelas.
Saya sadar kemudian, bahwa Anya belajar dengan cara menggambar atau paling tidak, ia akan berkonsentrasi dengan baik jika sebelum belajar ia diberi kesempatan menggambar, tiga atau empat lembar kertas. Itulah yang saya lakukan sekarang. Perasaan riang, senang, gembira, nyaman sebelum memulai aktivitas belajar jauh lebih penting daripada perintah belajar. Dengan kondisi yang nyaman, anak jauh lebih siap melahap materi yang dipelajarinya.
Saya anggap menggambar adalah ritual Anya sebelum memulai aktivitas belajar. Selesai menggambar, saya mengingatkannya untuk kembali menyiapkan materi pelajaran untuk keesokan harinya. Dengan berseri-seri, ia kembali duduk dan melahap semua materi untuk pelajaran esok. Nah, saya jadi tenang, Anya pun puas. Jadi, apapun ritual yang akan dilakukan anak sebelum belajar—selama itu positif—ikuti saja. Ini akan mengajarinya bertanggung jawab dan paham bagaimana melakukan segala sesuatu dengan baik dan benar. Let your children do their own (supporting, positive) ritual before learning. It would make them have more responsibility to do anything better and right.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar